Beranda | Artikel
Merasakan Kebutuhan Kaum Fakir Merupakan Bagian Nilai Takwa dari Puasa
Selasa, 5 Mei 2020

IKUT MERASAKAN KEBUTUHAN KAUM FAKIR DAN BERBUAT BAIK KEPADA MEREKA MERUPAKAN BAGIAN DARI NILAI TAKWA YANG DIGALI DARI IBADAH PUASA

Pertanyaan.
Banyak kamu muslimin yang menyatakan bahwa kita berpuasa untuk ikut merasakan apa yang dialami kaum fakir. Apakah ada dalil dalam Al-Quran dan Sunah tentang hal ini?

Jawaban.
Alhamdulillah

Tidaklah Allah menetapkan suatu syariat kecuali karena hikmahnya, apakah diketahui oleh orang atau tersembunyi, apakah diketahui sebagiannya atau tersembunyi sebagiannya. Bagi Allah hikmah yang dalam yang tidak diketahui oleh pemahaman dan akal.

Allah telah sebutkan hikmah dari disyariatkannya puasa dan diwajibkannya kepada kita. Dia berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang beriman, telah diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” [Al-Baqarah/2:183]

Sebagian ulama menyebutkan bahwa termasuk di antara kandungan takwa yang dilahirkan dari ibadah puasa adalah lahirnya empati dari orang kaya terhadap kondisi kaum fakir, bagaimana mereka merasakan lapar dan berbagai kebutuhan, sehingga hal tersebut akan mendorongnya untuk memenuhi kebutuhan saudaranya, dan ini termasuk di antara kandungan takwa.

Takwa adalah ungkapan yang bersifat menyeluruh untuk setiap perbuatan baik dan meninggalkan keburukan.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

 التَّقْوَى: اسْمٌ جَامِعٌ لِفِعْلِ الطَّاعَاتِ وَتَرْكِ الْمُنْكِرَاتِ

Takwa adalah ungkapan yang menyeluruh untuk perbuatan ketaatan dan meninggalkan kemungkaran.” [Tafsir Ibnu Katsir, 1/492]

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Takwa adalah ungkapan menyeluruh untuk segalah sesuatu yang Allah perintahkan kepadanya dan meninggalkan segala sesuatu yang dilarang.” [Majmu Fatawa Wa Rasa’il Al-Utsaimin, 24/40]

Tidak terdapat nash, baik dalam Al-Quranul Karim maupun dalam sunah nabi yang menunjukkan secara khusus bahwa Allah Taala mewajibkan puasa kepada kita untuk menghadirkan simpati kepada kaum fakir. Akan tetapi, kalaupun ada ulama yang menyatakan demikian, mereka berlandaskan bahwa perkara tersebut termasuk dalam bagian takwa yang dengan jelas Allah nyatakan dalam Al-Quran sebagai hikmah dari puasa dan bahwa perkara tersebut cocok dengan kondisi orang yang berpuasa, juga dengan anjuran syariat untuk membantu, mencintai dan mengasihi di antara kaum beriman.

As-Sa’di rahimahullah berkata, “Allah Taala telah menyebutkan hikmah tentang syariat puasa dengan firmanNya, (لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ) “Agar kalian bertakwa.” Karena puasa merupakan sebab terbesar bagi lahirnya takwa, karena di dalamnya melaksanakan apa yang Allah perintahkan dan menjauhi apa yang Allah larang.

Termasuk dalam kandungan takwa adalah bahwa seorang yang berpuasa meninggalkan apa yang Allah haramkan berupa makan, minum, berjimak dan semacamnya yang nafsu biasanya cenderung kepadanya, dalam rangka beribadah kepada Allah dan berharap pahala dariNya dalam meninggalkan semua itu. Hal itu termasuk takwa.

Di antaranya; Bahwa puasa melatih jiwa untuk merasa selalu terpantau oleh Allah Taala, dan itu dia meninggalkan apa yang diinginkan hawa padahal dia mampu melakukannya karena dia menyadari Allah melihatnya. Di antara hikmah lainnya, puasa mempersempit jalur bagi setan, karena setan masuk ke dalam tubuh anak Adam melalui saluran darah, maka dengan puasa, pengaruh setan akan semakin lemah dan dengan sendirinya maksiat akan berkurang. Di antara hikmahnya bahwa orang yang berpuasa pada umumnya banyak melakukan ketaatan dan ketaatan merupakan ciri-ciri takwa. Di antara hikmah puasa lainnya; Bahwa orang kaya jika dia merasakan pedihnya lapar, maka hal itu akan mendorongnya untuk menyayangi kaum fakir yang tak berpunya, dan inipun merupakan ciri-ciri takwa.” (Tafsir As-Sa’dy, hal. 86)

Syekh Muhammad Mukhtar As-Sinqithy hafizahullah berkata, “Dalam ibadah puasa terdapat kebaikan yang banyak, dia dapat mengingatkan orang-orang kaya terhadap kaum fakir yang membutuhkan. Karena manusia, jika dia lapar dan dahaga, sementara dia masih mampu dan mengetahui bahwa di penghujung hari dia akan mendapatkan makanan, maka dia akan mengingat si fakir yang tidak mendapatkan makanan dan minuman. Karena itu mereka berkata, ‘Puasa memiliki kebaikan yang banyak bagi seseorang dari sisi bahwa dia dapat mengingatkan orang-orang miskin, khususnya di kalangan orang-orang kaya.”

Karena orang kaya, boleh jadi dia lupa nasib saudara-saudaranya yang lemah dan fakir karena kekayaan yang ada padanya, sebagaimana firman Allah Taala,

(كَلَّا إِنَّ الإِنسَانَ لَيَطْغَى  ﴿٦﴾ أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى)

Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. karena dia melihat dirinya serba cukup.”[Al-Alaq/96: 6-7]

Manusia, jika merasa kaya, maka dia dapat melampaui batas, akan tetapi jika dia lapar seperti laparnya orang fakir atau dahaga seperti dahaganya fakir, maka hal itu akan menggiringnya untuk mengingat kaum fakir sehingga timbul rasa belas kasih kepada mereka.

(Syarh Zadil Mustaqni, 7/100, dengan penomoran maktabah syamilah)

Kita berpuasa sebagai bentuk ibadah kepada Allah Taala, taat kepada Allah dan RasulNya untuk meraih derajat takwa dalam hati kita yang menjadi sebab kebahagiaan di dunia dan akhirat. Di antara bentuk takwa adalah; Merasakan apa yang dirasakan kaum fakir yang mendorong sikap berbuat baik kepadanya.

Wallahu a’lam.
Sumber : islamqa


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/15841-merasakan-kebutuhan-kaum-fakir-merupakan-bagian-nilai-takwa-dari-puasa.html